Translate

Wednesday, October 8, 2014

Teori Jhon Dewey Tentang Belajar Matematika



  • TEORI JOHN DEWEY        


John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika Serikat, yang termasuk aliran Pragmatisme. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan. Dewey dilahirkan di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas. Dewey meninggal dunia pada tahun 1952.
Dari tahun 1884 sampai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhinya. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108). Apabila belajar siswa tergantung pada pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.
John Dewey dalam bukunya Democracy and Education (1950: 89-90, dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011), pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang menegaskan pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat relevan.
John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011). Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa tahapan yang dikemukakan, yaitu:
-          Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
-          Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
-          Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Hakikat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi .Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena itulah strategi ini disebut pengajaran yang terpusat pada siswa (student-centered intruction). The Northwest Regional Educarion Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran kontekstual, sebagai berikut:
1.    Pembelajaran bermakna; pemahaman, dan penalaran pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa dalam mempelajari isi materi pelajaran.
2.      Penerapan pengetahuan; adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tataran kehidupan da fungsi dimasa sekarang atau dimasa yang akan datang.
3.   Berfikir tingkat tinggi; siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.
4.      Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standart; isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar local, provinsi, nasional, perkembangan Iptek serta dunia kerja.
5.   Responsif terhadap budaya; guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, ddan kebiasaan siswa, teman, pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik
6.   Penilaian autentik; penggunaan berbagai strategi penalarannya yang akan merefleksikan hasilbelajar sesungguhnya.
Teori perkembangan moral peserta didik sangat berhubungan dengan teori pembelajaran kognitif. Hal ini dapat dilihat dalam teori perkembangan moral peserta didik, seseorang mengalami beberapa tahap dalam bertingkah laku di lingkungan sosial atau kelompoknya dan hal ini akan membawa pengalaman dan memberi pengetahuan pada siswa tersebut. Teori kognitif  pada dasarnya membahas faktor-faktor kognisi yang berhubungan dengan jiwa atau kondisi psikologi seseorang. Definisi dari kognisi yaitu suatu proses atau upaya manusia dalam mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat inderanya, menyimpan, menghubung-hubungkan, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah berdasar stimulus atau informasi tersebut (Sugihartono dkk, 2007).
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa gejala kognisi sering dikaitkan dengan proses belajar seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk pengalaman dan melalui alat indera hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Sugihartono dkk (2007) menjelaskan yang termasuk gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi, memori, berpikir, dan intelegensi. Salah satu faktor-faktor kognitif yang paling berpengaruh terhadap proses pembelajaran seseorang adalah berpikir.
Salah satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir di mana kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis (Dimyati, 1990). Reasoning itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan langkah-langkah itu antara lain (John Dewey, 1990 dalam Dimyati, 1990):
-          Maladjusment. Orang yang dimotovir menghadapi suatu rintangan (menghadapi problem).     
-          Diagnosis. Orang itu melokalisir sumber problimnya dan mempertimbangkan strukturnya. Langkah ini menyangkut kemampuan analisis untuk mengabstraksi dan membentuk konsep.
-          Hipotesis. Orang itu membuat satu atau lebih dugaan. Langkah ini menyangkut imajinasi kreatif.
-          Deduksi. Orang itu berusaha menentukan bahwa dugaannya itu akan benar. Langkah ini menyangkut logika dan pengalaman.
-          Verifikasi. Orang itu mengecek langkah keempat dengan fakta-fakta yang ada. Langkah ini menyangkut sampling dan eksperimen.
·         APLIKASI TEORI KOGNITIF JOHN DEWEY PADA PEMBELAJARAN SISWA
Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.
Sugihartono dkk, (2007) menjelaskan misi dari pemerolehan pengetahuan melalui strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh, menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah. Dalam hal ini siswa dituntut untuk menjalani proses pembelajaran yang bersifat intensif agar siswa memiliki kemampuan untuk memperoleh informasi hingga memperoleh kemampuan memecahkan masalah. Berdasarkan pandangan kognitif tentang bagaimana pengetahuan diperoleh atau dibentuk, belajar merupakan proses aktif dari pembelajar untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007).
Teori kognitif merupakan landasan pokok bagi pembelajaran siswa karena teori ini mengutamakan kemampuan siswa secara verbal. Tujuan pendidikan menurut teori belajar kognitif adalah (Sugihartono dkk, 2007):
-       Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
-    Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat direkonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
-       Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan kognitif lebih mengarah pada kemandirian siswa dengan kata lain guru hanya menjadi mediator atau menyampaikan materi pendidikan. Dengan cara tersebut maka kemampuan siswa menjadi lebih berkembang sehingga kualitas pendidikan yang dimiliki oleh siswa tersebut menjadi lebih baik. Salah satu metode pembelajaran kognitif yang paling tepat untuk diaplikasikan pada pembelajaran siswa adalah model CBSA atau cara belajar siswa aktif. Cara ini dianggap paling efektiv untuk pengembangan kognisi siswa.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tyler (1996: 20 dalam Sugihartono dkk, 2007) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
-       Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
-       Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif
-    Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru                       
-    Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa
-       Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka
-       Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Beberapa contoh untuk pembelajaran kognitif antara lain pembelajaran melalui penelitian ilmiah dan hasil penelitian tersebut didiskusikan di dalam forum diskusi. Manfaat lain dari kegiatan diskusi ilmiah tersebut adalah melatih siswa berpikir objekif yang secara tidak langsung berhubungan dengan gejala kognitif.
 

No comments:

Post a Comment